Tahun ini adalah tahun dengan buku non-fiksi terbanyak yang saya baca. Baca buku non-fiksi ini baru mulai di tahun 2018. Nggak banyak, dulu hanya baca tiga sampai empat buku non-fiksi pertahun. Ini hitungan yang tamat dibaca dan yang berhenti ditengah-tengah ya. Jadi mungkin sebetulnya dalam setahun cuma baca satu buku non-fiksi yang selesai sampai akhir. Tahun ini juga nggak banyak-banyak amat kalau dibandingkan sama orang lain, tapi setidaknya buat saya lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Bermula pada akhir tahun 2020, tiba-tiba saya merasa kalau saya ini tidak tahu apa-apa, merasa nggak berwawasan, merasa kalau ngomong itu nggak ada isinya alias jadi tong kosong nyaring bunyinya. Kesadaran ini muncul saat saya ngobrol sama orang lain. Setiap saya bikin argumen, semakin digali lebih dalam malah lama-lama rasanya semakin bias. Statement yang saya ajukan di awal, begitu selesai ngobrol, pikiran dan hati saya malah nggak tenang. Di dalam hati saya diam-diam jadi merasa “Kok kayak ada yang salah ya?!” atau “Kok statementku jelek ya?” atau “Duh harusnya tadi ngomong ini!”
Apa dampak dari situ? Saya minder. Minder karena nggak pinter, karena alur berpikir saya berantakan, karena wawasan saya pas-pasan. Apa yang saya lakukan untuk menutup keminderan tersebut? Tentu bukan belajar dan menerima, saya malah trying so hard to win over any argument untuk sesuatu yang padahal nggak ada menang-kalah. Saya pengen merasa menang biar nggak kelihatan kalau dalam hati saya ini lagi nggak percaya diri sama apa yang saya omongin.
Saya nggak mau berpikir ulang dan nggak mau menerima argumen orang lain yang bersebrangan. Saya nggak suka sama perasaan ‘kalah’ yang saya ciptakan sendiri. Saya ditutupin sama pemikiran dan pemahaman sendiri, seakan-akan jika ada orang lain yang tidak sepemikiran maka orang tersebut salah. Akhirnya saya malah sibuk mencari pembenaran, bukan kebenaran—walaupun kebenaran pun bisa beda-beda menurut orang lain.
Karena rasa-rasa yang muncul tersebut perlahan-lahan mulai menghancurkan diri sendiri, akhirnya saya membuat list buku apa saja yang ingin dibaca tahun ini. Bermula dari 4 judul, nambah 2, nambah 5 judul, lalu kalap, gitu terus sampai postingan ini selesai dibuat. Apa buku yang saya baca tahun ini semuanya tuntas dibaca? Nggak dong. Seingat saya, ada 5 judul yang nggak saya selesaikan.
Saya memasuki tahun 2021 dengan baca Aroma Karsa karya Dee Lestari—buku yang saya beli tahun 2018 dan baru dibaca tahun ini. Buat saya Aroma Karsa itu jadi bacaan pemanasan sebelum masuk ke list non-fiksi tahun 2021.
Lewat tulisan ini, saya mau merekap beberapa hal yang saya pelajari tahun ini.
Continue reading “Buku, Unlearn & Perjalanan Berpikir” →