Burnout, Hilang dan Jawabannya

Selama ini, saya percaya banget bahwa stress itu dampaknya bisa ke mana-mana, salah satunya ke kesehatan. Hal ini sudah disadarkan sama dokter langganan saya dari kecil, setiap ke sana cuma ditanya “Lagi mikirin apa?”

November 2022 kemarin tiba-tiba saya tumbang, nggak lama dari sembuh, langsung disambung dengan nggak bisa nyium sama sekali, bahkan handsanitizer yang begitu nyengat aja nggak tercium. Ternyata saya kena Covid, buat yang pertama kali. Kesalnya, dalam sebulan terakhir saya lagi nggak pergi ke mana-mana, sekalinya keluar hanya untuk ke dokter. Kalau saya tahu akan kena Covid, harusnya dalam sebulan itu saya puas-puasin aja main di luar.

Waktu ke dokter, dokternya cuma bilang, harus banyak istirahat. Dia nggak tahu aja kalau saya kerja WFH, yang mana technically, setiap hari fisik saya istirahat.

Kejadian sakit beruntun itu bikin saya merasa bersalah, karena harus nggak kerja dulu dengan waktu yang cukup lama. Di sisi lain, walaupun lagi sakit, surprisingly masa itu adalah masa paling tenang.

Selepas sakit, balik kerja lagi, saya kok ngerasa masih banyak yang perlu ‘disembuhin’ dan diistirahatkan. Akhirnya postingan ini dibuat.

Burnout

During Q4 kemarin, saya bener-bener nggak punya energi, padahal November udah ‘istirahat’ cukup lama. Saya jadi marah terus, the kind of anger yang bikin jantung berdebar kayak lagi jatuh cinta, bedanya ini karena marah aja. Saya jadi lebih sensitif, hal kecil bikin saya gampang marah atau nangis. Saya jadi lebih sering disagree dan bawaannya cuma pengen ngomong “Serah lo deh! Bodo amat, gue nggak peduli!” ke semua orang. Saya bisa jadi orang yang gampang nangis, bisa juga jadi orang yang (kelihatannya) paling nggak peduli. Saya kehilangan rutinitas, jadwal pun merenggut kesempatan saya untuk membangun rutinitas tersebut. Not to mention another symptom kayak sakit kepala yang hilang timbul, mual setiap lihat layar lama-lama, jantung yang berdebar lebih cepat setiap kerja, mual di malam hari kayak pengen muntah.

Ditambah dalam sehari saya selalu meluangkan banyak pikiran dan nentuin keputusan buat orang lain. Selesai dari itu, otak saya keburu capek bahkan untuk ngambil keputusan buat diri sendiri aja rasanya udah nggak sanggup. Jadinya, saya malah suka minta ditentuin buat hal-hal kecil seperti “Mending beli kopi B atau kopi A ya?” walaupun ya ujungnya kadang nurut, kebanyakan nggak. Jadi pengen ngetawain diri sendiri, kok saya nggak bisa menentukan hal sesepele itu.

Bagian paling menyakitkan adalah, saya nggak tahu gimana cara menyelesaikan hal-hal tersebut. Di satu sisi saya paham ada yang nggak beres, cuma saya nggak bisa melihat bagian mana aja yang perlu saya perbaiki, mulai dari mana. Saya nggak tahu gimana caranya buang sampah-sampah pikiran dan ketidaksetujuan waktu itu. Saya nggak tahu gimana harus membangun rutinitas lagi. Kalimat yang bisa keluar dari mulut cuma “Gila, capek banget!” padahal yang terjadi lebih dari itu.

Kalau diibaratkan, rasanya kayak lagi tenggelam, padahal saya bisa berenang. Masalahnya, saya nggak tahu harus mulai menyelamatkan diri dari mana. Nggak tahu apa harus diam dan biarin tenggelam aja sampai dasar terus baru naik lagi, nggak tahu juga yang harus saya gerakin duluan itu tangan atau kaki.

Di momen ini, saya juga lagi baca buku judulnya The Body Keeps The Score, yang menceritakan bahwa tubuh kita ini menyimpan semua memori, specifically trauma karena Bessel van der Kolk, sebagai penulisnya, memang specialized di bidang itu. Ada satu paragraf yang saya inget, dia bilang kebanyakan manusia saat lagi stress ini bukannya merelease stress tersebut, mereka malah ngerasa sakit kepala atau penyakitnya kambuh. Relate much?! WK

Dikarenakan Q4 itu isinya 3 bulan dan selama 3 bulan itu juga saya merasakan perasaan yang constantly muncul, akhirnya berpikir kondisi kayak gini udah nggak bisa didiemin lebih lama lagi. Sudah sangat clueless harus ngapain, di bulan Desember saya minta pertolongan.

Untungnya kantor saya punya fasilitas konsultasi ke psikolog yang mereka sediakan, dari pihak ketiga. Tanpa pikir panjang, saya langsung daftar.

Little did I know, yang perlu istirahat ternyata psikis saya.

Hilang

Januari awal mulai konsultasi sama psikolognya yang surprisingly sangat asik & langsung klop!

Saya banyak bercerita waktu itu, dua jam lebih. Mulai dari ketawa, nangis, ketawa lagi. Dia, dengan perannya, hanya mendengarkan dan bertanya, lalu tiba-tiba bisa meringkas semuanya bahkan sampai ke poin-poin yang nggak saya ceritakan.

Saya sempet nanya, “Terus aku harus ngapain mbak?”

Benar-benar kehilangan arah, ditambah perasaan kayak gitu baru timbul tahun kemarin. Saya sampai bingung, karena apa-apa selalu saya tulis di notes, tapi looking back ke notes-notes lama kok ya nggak satu pun saya temukan hal yang kayak gini? Nggak ada contekan dari pengalaman sebelumnya.

Saya tahu saya nggak ingin seperti ini, tapi saya juga nggak tahu harus ngapain. Saya tahu bahwa saya nggak nyaman di kondisi ini, tapi saya juga nggak tahu harus keluar atau memperbaikinya kayak gimana. Saya tahu bahwa ini adalah hal yang nggak akan saya lakukan lagi setahun ke depan, tapi saya nggak tahu kapan harus berhenti. 

Ditambah dengan kecemasan-kecemasan lain yang bikin saya jadi hilang kontrol untuk menguasai diri sendiri.

Ditambah persepsi saya yang merasa semakin bertambah umur, kok kayaknya kesempatan yang ada jadi semakin sedikit dan saya takut untuk kehabisan waktu.

Saya nggak mau kayak gini dan saya nggak tahu harus ngapain.

Psikolognya hanya bilang, “Sebetulnya, semua jawaban itu udah ada di dalam diri kita sendiri lho. Kita udah tahu apa yang kita pengen dan perlu dilakukan, tapi karena sekarang kamu pikirannya lagi penuh, jadi hal itu nggak ketahuan.”

Di akhir sesi, saya diajak buat ketemu sama diri sendiri. Dia nanya “Kapan terakhir ketemu sama diri sendiri?” saya mikir keras, ternyata jawabannya adalah nggak pernah. Hahaha.

Di sesi terakhir itu juga, dengan instruksi yang diberikan, dengan visualisasi, akhirnya saya ngajak ngobrol diri sendiri. Satu adalah diri saya disaat ini, satu lagi adalah diri saya ‘seutuhnya’ dengan segala perjalanan hidup dan impian masa depan.

Apakah dengan satu sesi itu, saya otomatis jadi tahu arahnya ke mana? Tentu nggak, tapi setidaknya, saya tahu hal kecil apa yang perlu saya lakukan.

Berhubung ini adalah konsul sama psikolog yang pertama kali selama hidup, akhirnya saya bisa menyimpulkan kenapa psikolog itu dibayarnya cukup proper, karena mereka punya skill paling mahal; skill mendengarkan dengan sadar dan hadir di masa ini kini.

Nggak cuma sadar tentang pekerjaan psikolog yang susah itu, saya juga akhirnya mulai bisa melihat…

…Jawabannya

Selesai sesi, saat perasaan sudah mulai tenang, mulai menjalani hari lagi, ternyata yang selama ini saya butuhkan bukan suruhan tentang jalan mana yang perlu saya ambil. Bukan untuk psikolog tersebut menentukan saya harus A harus B harus C. Bukan untuk orang lain menentukan ke mana saya harus pergi. Ternyata yang saya butuhkan cuma bantuan untuk untangling pikiran yang terlanjur kusut.

Selain itu, yang juga saya cari adalah ‘kepastian’. Padahal, kirain yang saya cari adalah kesempatan dan waktu biar bisa mengontrol diri sendiri sepenuhnyai tanpa ada campur tangan eksternal, tapi poin besarnya ada di kepastian.

Saya nggak bisa memastikan masa depan, tapi saya butuh kepastian buat menjalani masa depan dengan aman. Saya nggak bisa memastikan apa saja hal yang akan datang, tapi saya suka buru-buru menyimpulkan sesuatu yang belum tentu terjadi, ya hanya biar ada kepastian aja.

Pantesan, kalau ada cowok yang ngedeketin, yang saya tanya duluan adalah tujuannya karena saya butuh kepastian di awal. Perihal hasil akhirnya? Terserah, tapi harus diawali dengan kepastian. Hahaha!

Melihat ke belakang, saya juga suka bilang bahwa buku yang saya baca adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul di otak. Tapi, gimana kalau misalnya pertanyaan-pertanyaan itu juga bisa timbul karena saya lagi berusaha mencari kepastian?

That’s it! Semuanya berlabuh ke kepastian.


I never anticipate adulthood would be this messy, tapi ternyata lumayan juga kalau dijalanin. Lumayan seneng, lumayan seru, lumayan hadeh, lumayan sedih, lumayan bingung. Apalagi kalau dibandingkan sama diri saya sebelum-sebelumnya, kayaknya dia nggak akan mampu buat ngejalanin hidup yang ini. Seperti kata bukunya Marshall Goldsmith, apa yang terjadi dan kita capai saat itu memang hanya bisa dicapai dan terjadi dengan kita yang saat itu aja. Suka banget sama statement ini.

Akhir kata, saat ini saya masih suka sekali-kali capek sampai pengen nyerah. Capeknya suka saya terima dulu, diem dulu, ngeluh dulu, nangis dulu kalau lagi nggak ketahan banget. Ujung-ujungnya (kalau lagi bener) baru ngingetin diri sendiri kalau semua hal itu nggak abadi, pun perasaan capek yang saya rasakan.

Semoga kita semua bisa bertahan dan mostly selalu tenang menjalani hidup yang aduhai ini.

with love,

odris


One thought on “Burnout, Hilang dan Jawabannya

  1. Mbak semangatttt!

    Aku pernah berada di posisi ini, alhamdulillahnya punya satu temen yg bisa mendengarkan dan ngasih petunjuk untuk lebih mengenali dan menemukan diri sendiri yg sejati.

    Awalnya bingung, ini harus ngapain?
    Setelah berpikir, merenung dan berdoa alhamdulillah ketemu jawabannya, alhamdulillah langkahnya jadi lebih ringan.

    Like

Diterima Apa Adanya Kok